Dia menatapku dalam-dalam, bukan
dengan rasa cinta atau sayang, tetapi dengan perasaan bersalah.
"Siapa
perempuan itu?"
Aku bertanya, mencoba menahan amarah dan kepedihan di dalam hatiku.
"Seseorang.....
dan kau takkan mengenalnya," sahutnya tenang, seolah-olah dengan tidak mengenal
perempuan itu akan mengurangi sakit yang kurasakan.
Mata ini mencoba memandangnya,
tetapi aku sadar yang bisa kulakukan adalah menatap lantai dan berharap air
mata yang membendung tidak berjatuhan. Bisa kurasakan dia perlahan bergeser
mendekat, tangannya diletakkan di bahuku untuk menenangkanku.
Cepat-cepat kutepis tangannya, tidak menginginkan bujukan bahwa semuanya akan
baik-baik saja.
#olivia
Sambungan versi Intan :
Ini kesekian kalinya Herlan “bermain api” dengan “seseorang”
di belakangku. Berulang kali, dengan si
seseorang yang ikut berganti. Namun,
meski pada akhirnya pengkhianatan Herlan selalu dapat aku saksikan dengan mata
kepalaku sendiri, aku tak pernah mampu melangkahkan kaki untuk pergi menjauh
darinya. Setiap luka yang ia toreh, selalu saja berhasil sembuh dalam sekejap
bila ia telah merangkulku, menenggelamkan tubuh dan hati ringkihku dalam
pelukannya yang hangat. Semua kesal dan amarah meluruh sempurna seiring
rangkaian kata maaf dan janji manis meluncur dari bibirnya. Salahkah aku?
Bodohkah aku?
Herlan bilang, hadirku ibarat ratu dalam kerajaan
istananya. Sedangkan mereka –para seseorang-
tak ubah bak selir saja. Sekian lama aku menuruti maunya Herlan, membiarkan
diri terjebak dalam siklus yang makin hari makin menyakiti. Mencintai Herlan – membiarkannya bercinta
dengan wanita lain – menangis dan terluka – dibujuk janji manis Herlan – luluh dan
kembali mencinta – terluka lagi. Hih! Jika pepatah lama mengatakan “keledai saja tak akan jatuh 2 kali ke
lubang yang sama”, jadi aku ini lebih dungu dari seekor keledai, bukan?
Herlan mencoba memelukku, namun tak seperti yang
sudah-sudah. Aku tak akan membiarkan pelukkannya yang penuh racun menjebakku
lagi. Dia mengerjap tak percaya atas penolakanku, penolakan pertama yang aku
lakukan atas inginnya selama kurun waktu 7 tahun ini. Seolah mendapatkan
kekuatan yang bersumber dari rasa perih yang sekian lama menggunung, aku mantap
berdiri, memandangnya yang masih membeku dalam ekspresi tak percaya. “Kita putus, Lan ..” ucapku sekilas lalu
segera berlalu meninggalkan Herlan sebelum ia menyadari benar apa makna ucapan
yang baru saja meluncur lancar dari bibirku barusan.
Aku melangkah ringan, seakan beban kepedihan hilang
sempurna. Duh, jika aku tau rasanya akan senyaman ini ketika berani melepaskan
diri dari jerat Herlan, kenapa tak dari dulu saja aku melakukannya? Senyumku
mengembang. Hari baru siap dimulai, tanpa tangis, tanpa luka. Bahagia dan
indah.
Namun, tepat ketika aku tiba di seberang jalan …
Ciiiiittttttttt
buuuummmmmmm ..
Aku sontak menoleh,
“Herlaaaaaaaaaaaaaaaannnnnn
..”
Duh Tuhan, sepertinya kali ini aku akan menangis tak
berkesudahan.
Deadline : 9 April 2014
Hadiah : Buku
Sumber : Lovrinz
No comments
Makasih udah baca, tinggalin jejak dong biar bisa dikunjungin balik ^^