Senja
perlahan mulai menyelimuti langit kota Bengkulu. Di salah satu sudut taman kota
yang hijau, Lulu menangis tergugu. Tangis kehilangan, tangis karena merasa tak
lagi dibutuhkan. Sialnya, semakin ingin ia mencoba menghapus bayangan Decta –si
biang kerok yang sukses membuatnya menangis-, semakin nyata pula siluet gadis
berponi dora itu di benak Lulu. Perlahan, seakan slide demi slide kenangan
persahabatan mereka yang manis, berseliweran. Menimbulkan kombinasi rindu
bercampur amarah hingga menghasilkan letupan tidak menyenangkan di jiwa.
***
“Kakak kenapa
menangis?” anak kecil yang tiba-tiba muncul di dekat Lulu bertanya dengan irama
super polos.
“karena kakak lagi sedih” sahut Lulu sembari
berusaha mengelap bulir-bulir airmata.
“Sedih kenapa?”
“Segitiga.”
Sengaja Lulu memberikan jawaban super pendek, dengan harapan si bocah akan
segera beranjak meninggalkannya seoarang.
Namun tidak.
“Kenapa sama segitiga?
Apa kakak tidak bisa menerapkan rumus Phytagoras? Atauuuu … kakak sedang
terjebak dalam takdir cinta segitiga?” kali ini si bocah tergelak
menahan tawa.
“Deuh, anak kecil tau apa soal cinta-cintaan?” jawab
Lulu gemas.
“Sahabat
kakak punya sahabat baru. Dan itu membuat kakak kesal setengah mati. Kakak
lebih suka kami bersahabatan berdua, tidak membentuk persahabatan segitiga macam begini.” sambung Lulu.