[Resensi] Tumpah Ruah Rasa dalam Sosok Sang Patriot



Sejujurnya, ada 2 hal yang menyebabkan novel Sang Patriot terdiam di pojokan rak buku begitu lama, tanpa ketertarikan berlebihan untuk menyentuh, apalagi membaca.

1) Aih, bicara tentang sejarah, apa ada yang tak bikin bosan? Apalagi penulisnya berkarir di bidang hukum. Sudahlah tentu novelnya akan direcoki dengan pelbagai istilah yang bikin berasap kepala para pembaca.

2) Baru baca tulisan pada cover saja, saya sudah ketar-ketir. Ada aroma peristiwa mengerikan dan berdarah-darah di sana. Alamak, sudah jelas saya tak berani membaca novel ini pada malam hari. Ngeri!

Hingga mendekati deadline pelaksanaan lomba resensinya, Sang Patriot baru disentuh, dibaca perlahan. Daaaannn getir, bulir airmata berebutan keluar, haru menyeruak, berjuta inspirasi dan motivasi merasuk pasti. Kenapa tak sejak novel ini jatuh ke tangan, langsung saya tuntaskan membacanya? Makanya Ntan, jangan pernah menjadi berlagak jadi hakim, jika tak tau duduk permasalahannya. Belum baca, sudah berani menghakimi jika novel sejarah akan melulu membosankan.

Tapi sudahlah, orang bilang ‘tak guna meneysali yang telah terjadi’. Selagi masih ada waktu, usap airmata, lebarkan senyum, mari kita tulis resensi Sang Patriot dengan apik :’)




Judul Buku   : Sang Patriot Sebuah Epos Kepahlawanan 
Penulis          : Irma Devita
Penerbit        : Inti Dinamika Publisher
Tebal            : 266 Halaman
Harga           : Rp.65.000
ISBN            : 978-602-14969-0-9

Sudah menjadi kebiasaan, sebelum membaca sebuah buku, sepenggal tulisan di belakang cover selalu saja lebih dulu menyedot perhatian. Oh, bagus! Saya yang biasanya  terhanyut dalam novel ringan khas cinta-cintaan, kali ini harus menceburkan diri dalam alunan cerita yang sebenarnya di luar ketertarikan saya. Sejarah? Peristiwa berdarah-darah? Tindakan keji penjajah? Untuk apa saya mengetahui detail peristiwanya? Bukankah sejarah telah teronggok di masa lalu? Bukankah cipratan darah dan airmata yang dikombinasikan dengan dramatis dalam novel ini hanya akan membuat saya tak mampu menelan nasi karena diliputi ngeri?

Tapi demi melihat goresan tangan sang penulis di lembar pertama buku yang saya dapatkan secara cuma-cuma ini, saya menjadi malu sendiri. Bukankah mbak Irma telah berbaik hati mengirimkan buku ini untuk saya? Lengkap dengan tandatangan pula. Apa salahnya mencoba keluar dari genre bacaan yang biasanya, bukan?

  
Cerita dalam buku ini diawali dengan penuturan penulis mengenai bagaimana buku ini pada akhirnya bisa ditulis. Alurnya maju mundur, namun sama sekali tidak membingungkan. Malah membuatnya semakin seru saja. Based on True Story, namun penulisnya pandai benar meraciknya menjadi semacam fiksi yang memabukkan dan berhasil menyedot perhatian hingga lembar terakhir. Ngeri sih, tapi jemari masih terus menyibak lembar demi lembar hingga tamat cerita.

Kisah masa kecil Sroedji berhasil membuat saya terpesona. Diusianya yang begitu muda, ia telah membuat dirinya begitu istimewa. Wataknya, tingkah lakunya, bahkan parasnya yang rupawan pun seolah telah menjadi anugerah besar serta menjadi modal bahwa di masa depannya ia akan bertransformasi menjadi pejuang gagah.

Kisah masa kecil Rukmini juga tak kalah indah. Ia sosok yang luarbiasa, tangguh dan cerdas. Tak salah, jika skenario takdir kehidupan mempertemukan dua sosok istimewa ini –Sroedji dan Rukmini- untuk mengarungi biduk rumah tangga bersama. Aih, kisah cinta mereka berdua begitu indah. Mulai dari kejadian ‘kedip mata’ di pasar, hingga kala merajut hari-hari sebagai pasangan suami istri. Mereka berdua bak saling melengkapi, yang satu ceria dan penuh romansa, yang satu super tenang meski sedikit canggung. Intinya, mereka saling mencinta. Mereka berbahagia!

Kisah pedih bermula kala Sroedji masuk PETA. Saya boleh protes? Kenapa patriot kita ini rela menukar hari-harinya yang manis bersama istri kesayangannya dengan cacian, makian bahkan siksaan fisik dan mental di kamp pelatihan PETA. Duh, jika saya lupa bahwa ini ‘true story’, saya pasti akan langsung menyalahkan si penulis. Kenapa tega membuat skenario sekejam itu? Biar saja orang baik berbahagia dalam hidup dan cintanya. Aih, tapi ini kisah nyata, bagaimana bisa saya memperotes skenario Tuhan yang Maha Tahu? Atas peristiwa yang telah terjadi pula..  

Kengerian demi kengerian berlanjut dengan ganas. Mulailah pertempuran demi pertempuran dilakoni sang Sroedji dan teman-teman demi kemerdekaan Indonesia. Mereka rela meninggalkan zona nyaman, mereka rela meninggalkan para keluarga tersayang. Demi siapa? Demi kita, anak cucunya, yang sekarang untuk membaca kisah perjuangan mereka saja harus mengenyahkan malas dengan sekuat hati.

Tak perlulah saya jabarkan, bagaimana gigih dan cerdiknya para pejuang dibawah komando Sroedji menghalau penjajah meski harus berdarah-darah hingga meregang nyawa. Tak perlu pulalah, saya ceritakan bagaimana kejinya para penjajah yang ternyata tega benar memperlakukan rakyat pribumi dengan lebih rendah dibanding binatang. Diseret, dimasukkan dalam gerbong maut, ditusuki bayonet, dicongkel bola mata. Aih, sudahlah! Saya tak sanggup mengingat apalagi harus membaca ulang bagian itu. Yang jelas, saya baru menyedari betapa kejinya para penjajah. Tapi lebih keji lagi mereka-mereka yang berkhianat, rakyat pribumi yang dengan busuknya menjadi kacung penjajah. Kejam dan tak punya hati.

Silahkan sibak sendiri halaman demi halaman Sang Patriot. Biarkan rasa ngeri menyusup, biarkan airmata haru dan iba tumpah ruah. Percayalah, setelah membaca buku ini, tak hanya rasa cinta pada pahwalan saja yang melejit naik hingga berpuluh kali lipat. Namun kecintaan pada bangsa dan negara ini pun, niscaya akan kembali berkobar. Setiap jengkal tanah yang kita tinggali saat ini adalah buah dari perjuangan para patriot. Bagaimana bisa kita menyia-nyiakan jerih payah hingga nyawa mereka?

Direkomendasikan!!

Terutama untuk anak-anak muda yang saat ini kebanyakan cenderung apatis dan kurang mencintai negeri, termasuk saya. Kita harus menengok ke belakang, temans. Apa sulitnya bagi kita untuk mensyukuri bergenggam-genggam nasi yang bisa didapatkan dengan begitu mudahnya saat ini? Apa sulitnya bertransformasi menjadi anak baik, yang mau belajar dan bekerja keras demi bisa menyumbangkan sesuatu bagi Indonesia Raya tercinta ini. Kita tak perlu angkat senjata, perjuangan kita tak mesti berdarah-darah, tapi bukan jaminan kita bebas dari penjajah.

Jika ada yang bilang perjuangan terhenti kala Indonesia merdeka, kala para patriot kita telah terbang menjadi syuhada, kita salah besar. Bacalah Sang Patriot, resapi setiap rangkaian kata dan peristiwa di dalam sana. Dan bersiaplah menjadi Sang Patriot baru, patriot yang turut menebar warna indah untuk Indonesia, meski dalam ruang lingkup berbeda.

*andai saja saya membaca novel apik ini ketika zaman sekolah, pasti setiap kali ‘mengheningkan cipta’ kala upacara bendera menjadi sebenar-benarnya saat berdoa untuk para syuhada. Bagaimana tidak, Sang Patriot telah memberi saya gambaran jelas setulus-tulusnya pengorbanan para patriot bangsa ini. Mereka istimewa, mereka luar biasa. Dikenal atau tidak, serangkaian doa dan bangga akan selalu terucap untuk mereka yang tercinta {}




http://letkolmochsroedji.org/

4 comments

  1. Apik reviewnya. Seseorang yang akan menulis review memang harus membaca sampai tuntas buku yang akan direview, suka atau tidak suka.
    Salam hangat dari Surabaya.

    ReplyDelete
  2. Intaaann.. reviewnya "manis" khas para pencinta novel romantis. Ceritakan tentang kisah Sang Patriot ke orang2 di sekelilingmu yaa.. Terima kasih yaa sudah berpartisipasi dalam meningkatkan semangat patriotisme pada generasi muda :)

    ReplyDelete
  3. Terima kasih atas partisipasinya :)

    ReplyDelete

Makasih udah baca, tinggalin jejak dong biar bisa dikunjungin balik ^^