Sejak bapak terkena
diabetes komplikasi beberapa tahun lalu, aku dan keluarga kecil kami (bapak,
ibu dan aku) jadi teramat jarang bersilahturahmi ke rumah sodara-sodara. Bukan
apa-apa, penyakit ganas itu membuat kekuatan tubuh dan penglihatan bapak jadi
berkurang, terlebih jika kekurangan cahaya. Jadi, kalau harus meninggalkan
bapak atau harus mengajak bapak bepergian lumayan jauh, aku dan ibu harus
berpikir berulang kali. Riweuh. Efeknya bisa ditebak, aku jadi nggak begitu
kenal (atau sama sekali nggak kenal) sama sodara-sodara dari pihak bapak, juga
ibu. Maklum, jumlahnya banyaaaak!
Namun, saat ada sodara
dekat yang menikahkan putra bungsu mereka, ibu memutuskan untuk hadir. Kata
beliau, sekalian menyambung silahturahmi yang sekian lama mandek. Kami pun
meminta bantuan nenek dan kakek untuk menemani bapak di rumah. Syukurlah, nenek
dan kakek sama sekali tak keberatan, hingga ibu dan aku pun bisa meninggalkan
bapak di rumah dengan tenang.
Kami datang saat
resepsi pernikahan dilaksanakan, pestanya yang dikemas modern berlangsung meriah
dan lancar. Seperti biasa, setiap kali menghadiri pesta nikahan, ibu selalu ‘mendorong-dorongku’
naik ke atas panggung, buat nyanyi. Ya ampun, padahal dunia juga tau kalo suara
anaknya ini cuma bagus di kamar mandi doang *meh
Nah, kejadian ‘dorong-mendorong’
ini terjadi juga pada pesta nikahan kali itu. Dengan terpaksa, naiklah aku ke
atas panggung. Yaah, apa boleh buat, nama sudah dipanggil, tatapan MC seolah
bilang “Kamu mau naik nggak? Cepetan!” Errrrrr…...
Eh tak diduga, tak
disangka, ditengah-tengah penampilan, ada seorang cowok cakep *eh* yang
nyodorin bunga dari bawah panggung. Olalaaa .. kalo yang ngasih bunga ‘biasa
aja’ sih enak, berhubung cakep, hatinya langsung kebat-kebit *maklum, waktu itu
masih pake rok abu-abu, jadi ngelihat cowok sekedar dari tampang doang. mhihiiii..
Usai nyanyi, aku
nyari-nyari si sosok ‘pangeran berbunga’ tadi, dan ketemu. Daaaannn, ternyata
dia lagi ngelihatin aku. Jelas saja kebat-kebit di hati makin nggak karuan. Dia
senyum, aku balas dengan nggak kalah lebar. Firasat aku bilang, kami berdua
sama-sama punya rasa tertarik satu sama lain.
Aku senyam senyum
berkhayal kalau pertemuan ‘tak sengaja’ dengan si cowok cakep itu akan
berlanjut manis : tukaran nomor telepon, janjian ketemuan, makan, nonton, lalu
jadian, lalu putus *eh nggak sampe situ deng*
Lamunan buyar ketika
tiba-tiba ibu mencubitku pelan,
“Kenapa
sih dari tadi senyum-senyum gitu? Ibu ngomong nggak didengerin.”
“eh
enggg.. anu .. itu.” world, waktu itu usiaku baru saja
melewati angka 15, mana bisa aku segamblang sekarang bercerita tentang rasa
pada wanita yang ku panggil ‘ibu’ itu.
“Kita
bentar lagi mau pulang, tapi sekalian deh kita ngumpul dulu di ruang tamu wak
Rafa (pakde), keluarga besar kita lagi pada ngumpul. Sekalian silahturahmi.”
Pulang?
Yaelaah,
belum juga tukeran nomer sama cowok cakep itu,
batinku lesu.