Selamat merayakan hari
raya Idul Adha atau disebut juga Hari Raya Haji, atau Hari Raya Kurban. Apapun
sebutannya, kita merujuk pada satu Hari Raya. Hari Raya yang bertepatan dengan
puncak penyelenggraan ibadah haji, juga Hari Raya yang mengajak umat muslim memperingati
pengorbanan Nabi Ibrahim yang bersedia mengorbankan
putranya Ismail
untuk Allah.
Alhamdulilah, Idul Adha
tahun ini, aku diberi kesempatan menikmatinya bersama ibu dan bapak di rumah.
Aku memang sedari awal bulan, sudah request
libur pada tanggal 4 dan 5 September pada pihak radio (tempatku bekerja), agar
bisa menikmati momen setahun sekali, Idul Adha, dengan nyaman tanpa terusik
jadwal kerja.
Seperti Idul Adha tahun-tahun
sebelumnya, ketika jarum jam merengsek mendekati angka 7, aku dan keluarga
bergegas ke masjid untuk sholat berjamaah, usainya ada tradisi salam-salaman
antar jamaah, lalu pulang. Menikmati ketupat dan opor ayam. Nikmat seperti
biasa.
Namun ada yang beda
dari biasa, usai menikmati makanan enak buatan ibu, aku diajak untuk
menyaksikan proses penyembelihan hewan kurban di desa kami, karena kebetulan
untuk tahun ini keluarga kami mengurbankan seekor sapi (patungan dengan
beberapa tetangga). Buatku, ini adalah kali pertama melihat langsung proses
penyembelihan sapi, hingga kemudian berubah menjadi potongan daging yang siap
dibagikan pada warga desa.
Sebelum penyembelihan
dimulai, warga desa menikmati camilan dan minuman hangat buatan pemilik lahan
yang lahannya digunakan sebagai lokasi penyembelihan. Mungkin agar energinya
cukup kuat kali ya? Maklum, Sapi Indonesia tentu saja berontak kala mulai
diikat dan menerima ancang-ancang akan disembelih.
Lalu mulailah prosesi
penyembelihan, si sapi diikat pada seluruh kakinya, moncongnya, juga tanduknya.
Prosesnya lumayan alot, karena si sapi melawan. Akhirnya setelah sapi
kehilangan banyak energi, para panitia kurban langsung menidurkan si sapi.
Buatku yang baru pertama menyaksikan, momen itu amat sedih, mata si sapi seakan
berkaca-kaca menanti ajal, mukanya juga memelas. Sedih? Iya. Kalau tak ingat
bahwa semua sapi pada hakikatnya berlomba-lomba agar dijadikan hewan kurban
(ketimbang mati tua lalu sia-sia), tentulah airmataku sudah mengucur deras.
Meratapi kepergian sapi.
Usai dipotong, daging lalu dipotong, dipisah-pisah dan siap untuk dibagikan. Aku dan keluarga mendapatkan bagian sekitar 5 kilogram, belum ditambah hati, juga tulang belulang sapi yang pas bener jika disup.
Setiba di rumah, daging
langsung dicuci bersih lalu dimasak. Karena untuk membuat rendang agak riweuh
dan lama, untuk menu makan siang, aku dan ibu memilih memasak daging kecap juga
sup. Rasanya jangan ditanya, luarbiasa enak. Maklum, daging sapi baru dipotong,
rasanya jauh lebih segar ketimbang yang biasa dibeli di pasaran.
Sisa daging yang super banyak lainnya, diolah menjadi rendang lezat. Namun tentu saja, rendang itu tak mampu kami habiskan bertiga saja (bapak, ibu, aku). Jadi rencananya, rendangnya benar-benar akan dibuat menjadi rendang kering, lalu dikirimkan ke kakek dan nenek yang tinggal di kota berlainan dengan kami.
Yah begitulah, Idul
Adha yang hanya mendapatkan libur 2 hari (sabtu dan minggu) ini tidak
memungkinkan kami untuk pulang ke rumah kakek dan nenek. Jadi lebarannya hanya
sebatas kirim-kiriman rendang dan percakapan via telepon. Untunglah, sebagai
pengguna abadi Telkomsel, kami sekeluarga cukup membeli paket Serbu, lalu bisa
berbagi tawa dan kata dalam durasi lama tanpa harus kehilangan banyak pulsa.
Itu cerita Idul
Adha-ku, kalau kamu?
Salam sayang,
Intan Novriza Kamala Sari
Ih kadang suka gak tega kalau liat yang kayak beginian >_<
ReplyDeleteSelamat Iduladha.
ReplyDeleteDi gambar ke tujuh, masih sempat pose sebelum si Sapi disembelih, hihi. kalau lebaran kemarin, saya pas di kosan (sama sepereti tahun2 sebelumnya:D). ada beda di kos, sama ngontrak. dulu pas masih ngontrak, kami dapat juga jatah daging kurban dari tetangga. dimasak rame2 pakai bumbu jadi, haha. jadi ingat keseruannya:D. tapi karena sekarang ngekos, gak dapat, mbak :D
ReplyDeleteSelamat Idhul Adha :)