Tulisan ini akan dijadikan sebagai self-reminder buat aku pribadi,
barangkali juga buat kamu yang baca. Bahwa betapa pun hebat kita memperjuangkan
hidup di bumi, suatu saat kelak kita akan mati. Mati. Tanpa membawa apa pun. Selain
amalan yang sempat kita kerjakan selama masa singgah hidup di bumi sebagai
manusia.
--
Seperti kutipan yang aku temukan di salah
satu buku, ‘bukannya kita nggak tau kapan
harus berhenti, hanya kita yang nggak mau berhenti’. Well, selama ini rasanya
bagai berhadapan dengan buah simalakama. Apa pun keputusanku, aku akan menyakiti satu
pihak. Dan egoku bilang, paling berat untuk menyakiti pihak yang sangaaaat kita
cintai, bukan? Kita cenderung lebih enteng menyakiti orang-orang yang tidak
bersinggungan langsung dengan kita, atau bahkan orang-orang yang di keningnya
kita labeli ‘musuh’.
Tapi pagi ini sebuah kesadaran menghentakku
keras. Sangat keras. Aku bahkan menggigil dalam tangis dan ketakutan.
Pagi-pagi buta, seperti biasa yang aku
lakukan selepas bangun tidur adalah mengecek sosmed, berharap ada kabar baik
berupa pengumuman lomba yang memuat namaku. Tapi pagi ini ternyata berbeda.
Aku tak sengaja melihat update status seorang
teman, berisi rangkaian doa untuk teman yang aku kenal semasa masih siaran di
Swaraunib dulu, Ollyv. Hatiku langsung kebat kebit tak menentu. Kaget iya, syok
jelas.
Ollyv? Ada apa sama Ollyv?
Bukankah baru beberapa hari lalu, dia
memberikan ‘love’ di salah satu foto yang aku unggah di instagram?
Aku buru-buru log-in Instagram, di foto
terakhir Ollyv, terlihat dia tengah memandang pantai, mengenakan t-shirt hitam.
Banyak komentar yang masuk di foto itu. Satu yang membuatku ngilu saat membaca,
“Llyv, pulang! Jangan main terlalu jauh,
mama kamu khawatir.” Juga sederet komentar lainnya yang bernada sama. Tapi
aku belum menemukan jawaban pasti, apa yang terjadi dengan gadis yang usianya
hanya terpaut 1 tahun denganku itu.
Aku lalu mengandalkan google, mengetik “Ollyvia
Dwitamara Bengkulu”. Lalu muncullah potongan berita yang membuat hatiku
bertambah perih.
Benar. Ollyv meninggal. Saat berwisata ke air
terjun di kawasan Baturoto, Bengkulu Utara. Air terjun yang sempat aku kunjungi
saat SMP, yang membuatku basah kuyup saat pulang ke rumah karena menikmati airnya
yang segar, berujung pada omelan bapak ibu yang tak sebentar. Omelan yang baru
sekarang aku tau artinya >> cemas, khawatir, takut terjadi apa-apa
denganku.
Aku nggak akrab dengan kematian, nyaris
membencinya setengah mati malah. Kehilangan terbesarku saat wawak sebelah rumah
meninggal karena liver, setelah setahunan bolak balik Rumah Sakit. Sedihnya jangan
ditanya, lemas yang aku rasakan sampai awet berbulan-bulan.
Dan ini Ollyv. Lebih muda dariku. Kenyataan yang
seolah menamparku bahwa ajal bisa datang kepada siapa saja yang Ia kehendaki.
Aku mengenal Ollyv pada tahun 2012, saat kami
sama-sama masuk Swaraunib. Tak dekat memang. Tapi yang aku tau, dia gadis baik,
pinter bikin ngakak, dan (seolah-olah) gak pernah sedih. Itu yang terlihat dari
Ollyv di permukaan.
Aku gak tahan buat nggak stalking akun
facebook Ollyv sampai ke tahun 2013, saat ia baru suka travelling. Menjelajahi gunung,
pantai, bebas bergerak, menyerap semua momen dan (semoga saja) kebahagiaan. Dan
entahlah ya, caption-caption di foto Ollyv membuatku meremang.
“Life is
like ridding a swing, you hold to it tight and start moving, you go high and
low. When you’re up, you know you will get low and when you’re at your low you
push harder to get up, and sometimes you need apush from someone to take you
up.”
“Take me
away, life is better at the beach.”
“Setiap
orang dengan malaikat penjaga. Tidak usah takut.”
“It’s funny
how we survive all these days just to die one day.”
Semua orang, termasuk aku, pasti nggak akan
nyangka, kalau orang semenyenangkan Ollyv akan meninggal dalam musibah air bah
di air terjun Baturoto. Air, alam –sahabatnya bertahun-tahun ini, menyeret tubuhnya,
menenggelamkan, hilang semalaman, lantas baru ditemukan keesokan paginya dalam
kondisi luka-luka. Pedih. Ya Allah, Ollyv. :’(
Meninggalnya Ollyv membuatku tersentak,
tertampar.
Pertama, hari sabtu (hari kejadian), aku sudah
mendengar kabar (lewat radio) bahwa ada 3 orang hanyut di air terjun Baturoto. Tapi
aku sama sekali nggak peduli, nggak nyari tau, nggak terpikir kalo aku mengenal
satu di antara 3 korban itu.
Tapi apa ada yang berubah saat kamu tau atau
nggak tau, Intan?
Nah, pemikiran itu yang harus dienyahkan
sejauh-jauhnya. Pemikiran buat nggak peduli. Pemikiran yang ngerasa, ‘apa sih
bedanya ada atau nggak ada aku?”
Kedua, caption Ollyv nohok banget. Lucu
emang, kita ngejar dunia dengan sekuat tenaga, sikut kiri kanan, tendang atas
bawah. Lantas kemudian menuju mati. Kita pun sebetulnya tau benar, hidup di
bumi ini sekedar numpang singgah, dengan tujuan buat ngumpulin
sebanyak-banyaknya amal dan kebaikan untuk dibawa ke alam yang kekal, akhirat. Tapi
kita (khususnya aku) sering lupa. Lantas ‘keasyikan’ bermain di dunia. Bercemas-cemas
ria memikirkan asmara (sementara), uang, rumah, mobil, pekerjaan, eksistensi
diri, lupa dengan tujuan utama >> ‘menyiapkan bekal’.
Ketiga, ini sebenernya erat sama obrolan aku
kemarin sore dengan seorang teman.
“Kalau aku
perhatiin, kamu itu terlalu cepat memusuhi orang, Ntan!”
Makjedeg.
Sore kemarin aku masih ngeyel, “Lah, aku kan musuhin orang-orang yang
nyakitin aku, LANTAS KENAPA?”
Tapi pagi ini aku sadar sesadar-sadarnya,
ucapan itu benar. Aku emang nggak suka ribut secara terbuka. Misal, aku tau ada
orang yang suka mencerca mencela aku di belakang, aku nggak akan balas mencerca,
nggak. Aku nggak akan mendatangi mereka, nggak akan. Tapi yang aku lakukan
adalah “menghapus orang-orang itu dari
peredaran kehidupanku”. Aku nggak bakal nganggap orang tsb masih tinggal di
bumi.
Di sosmed pun sama, ada komentar yang nggak
ngenakin, ada status-status penuh kebencian, aku nggak bakal ikutan
berkomen-komen ria, melainkan tinggak klik ‘delete’, kalo udah keterlaluan ya
blokir.
Alamak Intan.
Padahal ya, aku punya kebaikan buat jadi ‘pembawa
kebaikan’, lah tapi kalo aku hanya mau berteman dengan orang-orang yang ‘baik’
menurut pikiranku, menjauhi orang-orang yang dengan (atau tanpa) sengaja menyakitiku,
rasanya itu sama sekali nggak bijak.
Yang aku butuhkan bukan lari, melainkan
menegakkan tubuh lebih kuat, lebih lentur. Jatuh, bangun lagi, jatuh, bangun
lagi. Bukan lantas lari.
One day in my (your) life, aku (kita) bakal
nyusul Ollyv dengan cara yang barangkali nggak kita sangka-sangka. Kita memang nggak
akan pernah bisa lari dari kematian, tapi kita bisa berbenah jadi sosok yang
lebih baik mulai hari ini, detik ini.
Selamat jalan Ollyv.
innalilahi wainailaihirojiun. semoga amal ibadah ollyv di terima disisi-Nya. turut berduka.
ReplyDeletebingung mau komentar apa, tapi tulisan ini benar-benar menyadarkan. ngena.
Innalillahi wa innailaihi roji'uun. Turut berduka cita.
ReplyDeleteInnalillahi wa innailaihi roji'uun..kawan saya barusan ada yang meninggal :(
ReplyDeleteInnalillahi wa innailairojiun. Semoga seluruh amal ibadahnya diterima dan diampuni dosanya
ReplyDeleteTulisan ini sangat insoiratif. Yups benar sekali kematian bsa datang kapan saja tanpa kita ketahui. Tetapi mempersiapkan diri yang terbaik adalah yang terpenting :)
ReplyDeleteSemoga Ollyv dalam lindunganNYa :)
hmm... mbak sekeluarga cemas luar biasa intan ttg kejadian baturoto ini, Tiud adek mbak ke sana bareng Ollyv waktu kejadian itu , Tia selamat karena teseret ke batu, dan baru diselamatkan sama tim SAR 3 jam kemudian, tapi Ollyv baru ketemu besoknya, semoga ada himak untuk kita smua
ReplyDeleteInnalillahi wa innailaihi rojiun. Semoga Ollyv mendapat tempat terbaik di siniNya, tan. :')
ReplyDeletejadi inget temen saya, gini, misal tahun ini kamu 2 bulan magang bareng dia, dan ternyata tahun depannya pulang, siapa yang nyangka, semoga Ollyv mendapat tempat yang baik, aamiin
ReplyDelete