Dear kamu, perempuan yang memakai bando merah
jambu. Kita bertemu di awal perkuliahan. Sama-sama terperangkap canggung. Sama-sama
terkungkung segan. Kau menawarkan senyum, aku balas dengan menawarkan tumpangan
pulang.
Hari itu seolah menjadi gerbang pembuka untuk
sebuah hubungan yang aku kira bernama ‘persahabatan’. Kita menghabiskan lebih dari banyak waktu berdua. Dari mulai
ke kampus hingga pulang, menjelajahi tempat-tempat makan enak, atau sekedar
menikmati donat lapis cokelat sambil tergelak – menertawakan kesamaan bahwa
kita sama-sama salah jurusan.
Kau ingat? Saking seringnya kita bersama,
orang-orang bahkan menyebut kita ‘Upin Ipin’. Di mana ada kamu, ada aku di
sampingmu, juga sebaliknya. Galeri di handphoneku dipenuhi foto kita beraneka
pose, hari-hari kuliahku dipenuhi cerita denganmu dalam beratus episode.
Pict source : www.wikihow.com |
Setahun berlalu. Aku mengucap syukur pada
Tuhan karena sudah mengirimkan kamu. Setidaknya salah jurusan tidak terlalu
mengerikan saat menyadari bahwa aku punya teman. Tapi, seorang teman yang lebih
dulu mengenalmu di bangku SMA, tiba-tiba memperingatkanku bahwa,
‘Jangan dekat-dekat dengan si A. Si A itu tak
sekedar merepotkan, namun juga licik!’
Waktu itu, mana mau aku percaya pada
cerita-cerita buruk tentangmu. Kamu sahabatku, aku percaya padamu, aku punya
berpeti-peti rasa sayang untukmu. Meski harus ku akui, kadang sepercik rasa
sedang dimanfaatkan, menyusup halus. Perasaan yang berkali-kali ku tepis dengan
keras.
--
Setiap pagi,
aku bertugas menjemputmu untuk pergi ke kampus. Tapi aku merasa bahwa itu hal
biasa, berangkat kuliah bersama sahabat, malah jauh lebih seru kan? Lagipula
kost kita searah..
Tapi tak
jarang saat aku datang menjemput, kamu malah masih nyaman meringkuk mengenakan
baju tidur. Aku bahkan harus menunggumu berpuluh menit kemudian sambil menahan
bosan yang meraja, lalu kita berangkat ke kampus dengan tergesa-gesa.
--
Kamu suka
mengambil paksa tugas laporanku yang sudah disusun rapi, yang sudah dikerjakan
setengah mati berhari-hari sebelum deadline. Kamu menyontek tanpa raut wajah
bersalah. Dan ini terjadi berapa kali? Puluhan. Atau bahkan ratusan? Aku lupa.
Aku ingin lupa.
Kadang, jika
sedang berada di titik sadar, aku sungguh membenci episode ini. Kau tau, kau
bahkan orang pertama yang aku beri akses leluasa untuk contek menyontek. Kau
orang pertama, tapi kalau boleh jujur .. aku terpaksa.
--
Tak hanya di
kampus, di luar pun aku harus sudi mengantarmu kemana-mana. Menemui si A, rapat
dengan kelompok B, ngambil barang di tempat C. Rasa-rasanya, adalah tugasku memastikan
bahwa urusanmu aman terkendali. Peduli setan dengan urusanku yang terabaikan.
Kadang aku
berkhayal, kita harusnya teman yang setara. Bukan kamu ratu, aku dayangnya.
--
Aku berusaha baik-baik saja. Aku berusaha
menjaga persahabatan kita kuat-kuat, memeluk semua perasaan tak enak erat-erat.
Namun, kamu tahu, di titik cerita berikutnya lah perasaanku berbelok tajam. Sedemikian
tajam. Hingga patah. Atau bahkan remuk tak beraturan
Kita bertemu teman baru, 3 orang. Gadis-gadis
manis nan baik hati yang membuat hari-hari kita lebih semarak. Sepakat?
Jadi sekarang bukan hanya Upin Ipin,
melainkan Upin Ipin and the genks : TV, EF dan PM.
Diawali dengan ide bisnis membuat lesehan
yang melibatkan TV dan PM, lalu mencampakkan EF karena menurutmu dia anak manja
yang tak bisa apa-apa. Sedangkan aku, pada TV dan PM, kamu bilang bahwa aku tak
perlu tahu apa-apa. Aku tak akan tertarik memasak di dapur, aku lebih nyaman
mencari uang jajan tambahan di studio siar. Aku mencoba tak ambil pusing. Meski
hatiku mulai menilai-nilai, apakah bagimu berteman tak lebih dari sekedar
mencari keuntungan hingga campak mencampakkan adalah perkara enteng?
Belum genap seminggu lesehan dibuka, kamu
rupanya tak sabar menunjukkan watak aslimu berikutnya, yang hobi cemberut dan bossy. Kamu juga tukang rumpi paling
cihuy. Semua topengmu terbuka dengan jelas di depan TV dan PM, sayangnya TV
lebih sayang aku dan PM lebih sayang EF. Apalagi kamu menuduh TV mencuri resep
masakan lesehan kalian kan? Aku tidak habis pikir, darimana kamu belajar untuk
menjadi licik seperti ini?
Pict source : thecircular.org |
Seolah belum cukup membuat kaget, beberapa
fakta menyesakkan dada terkuak setelahnya..
Saat aku
diterima di radio milik pemerintah, aku ingat, bahkan kamu ikut memelukku dan
mengucapkan ‘selamat’ bernada tulus. Baru setelahnya aku tahu kalimat yang
terlontar saat kamu jauh dariku,
“Aku udah
ditawarin kok sama bapak ‘Anu’ buat ikut pelatihan siaran di radio itu, tapi aku
nggak mau ah. Kasih kesempatan buat dia aja (baca : aku). Kasihan lah sama
dia.”
--
Saat aku
sering menang hadiah-hadiah mungil dari kuis-kuis dan giveaway di sosmed, kamu
nyeletuk dengan sadis,
“Aku juga
bisa kok menang kuis-kuisan kayak gitu, tapi aku ga minat aja. Kalo mau menang
sih sebenarnya gampang!”
--
Udah ga kehitung banyaknya foto kita yang
berdua maupun rame-rame berlima, tapi aku baru menyadari bahwa foto yang kamu
upload di sosmedmu, tak lain adalah foto yang akunya lagi cemberut, lagi merem,
lagi jelek. Dan parahnya, kamu selalu menertawakan foto-foto itu.
KENAPA?
--
Pada detik ini aku yakin, ada yang salah
dengan otak juga hatimu. Aku tak ingat berapa banyak waktu yang ku perlukan
untuk merenung, untuk intropeksi diri, untuk meredakan patah hati. Sungguh,
sesakit-sakitnya dikhianati pacar, tak ada secuilnya dibandingkan
bertahun-tahun berteman dengan orang yang diam-diam menebar racun.
Aku ingat jelas hari itu, kamu disidang, TV,
EF dan PM menghakimi, sementara aku tak sanggup mengurai tanya, bahkan
memandangmu saja aku sudah enggan. Tak ada pembelaan berarti darimu. Jelas
sudah seputar radio, kuis sosmed, upload foto benar adanya. Fix. Aku mendepakmu
jauh-jauh dari ruang spesial di hati yang aku beri nama ‘sahabat’.
Aku ingat, hari itu aku hanya berurai
singkat,
“Aku ga
pernah merasa kita saingan, kita malah sahabat. Dulu sih! Dan perlu kamu tau,
aku ga pernah melarang kamu buat masuk radio, buat ngekuis, ato apa pun. Tapi
yang jelas, apa yang aku dapet bukan buah dari kesempatan juga kasihan dari
kamu!”
--
Dear kamu yang pernah menjadi sahabatku, kamu
ku maafkan, tapi tidak untuk kembali berdekatan. Sekali sudah lebih dari cukup
untuk merasakan patah hati luar dalam akibat ditusuk dari belakang.
Doaku untukmu, semoga kau temukan orang yang
bisa membuatmu mengerti bahwa persahabatan tak mengenal ‘siapa yang lebih jago
dari siapa’, ‘siapa yang lebih cantik dari siapa’, ‘siapa yang lebih terkenal
dari siapa’. Sahabat itu saling melengapi, bukan saling mengkhianati.
“Tulisan ini diikutsertakan Giveaway -Pameran Patah Hati-”
Update :
http://www.avvtr.com/2016/06/pemenang-pameran-patah-hati.html
Update :
http://www.avvtr.com/2016/06/pemenang-pameran-patah-hati.html
Patah hati sama sahabat sendiri.. Hiks sedih.. Semoga Intan temukan sahabat sejati ;-)
ReplyDeleteKisah kita beda tipis nih.. Sama2 tentang sahabat... Semoga menang ya hehe, baca juga punya gue di jevonlevin.com ! :D
ReplyDeleteJahat bingits y mb semoga dia menyesali dan menyadari bahwa mba tuh sahabat yg tulus :)
ReplyDeleteIsh jahatnya, berarti dia emang gak pantes dijadiin sahabat. Semoga Intan cepet mendapatkan sahabat yang lebih baik daripada dia. Harusnya sahabat itu mendukung ya bukan syirik dan angkuh kek gitu. Hati aku tersayat-sayat baca ini. aku juga pernah digituin tapi statusnya dia cuma temen bukan sahabat.
ReplyDeleteLeave, unfollow, block ... Butuh waktu tahunan utk bisa berani melakukannya. Aku pun begitu ...
ReplyDeleteThat's the reason why i start calling friendship is a bullshit. Ada kalanya teman memeluk erat kita untuk menancapkan pisaunya lebih dalam. :")
ReplyDeleteSalam hangat,
Amaliah Black.
hiks jlebb jlebb ini mahh
ReplyDeleteSalam kenal. aku patah hati bacanya nih
salam kenal juga :D
ReplyDelete