Pict
milik penulis dari kegiatan Talkshow Blogger Bengkulu bersama Lembaga Sensor
Film
|
“Intan
sibuk gak sore ini? Temenin aku nonton Crazy Love yuk! Kita nonton bertiga sama
Adit.”
Di suatu sore aku menerima pesan
WA dari sahabat zaman kuliah, ajakan nonton film drama komedi romantic as always, sesuai genre favorit kami. Tentu aku tidak
keberatan, apalagi Crazy Love
(disamarkan) adalah film yang diangkat dari sebuah novel bestseller. Baca review
yang sudah cukup banyak bertebaran pun, bikin aku semakin semangat untuk
menonton film itu. Tapi WAIT,
nontonnya beneran ngajakin si Adit, adeknya temenku itu? Wah, ndak bisa gaes. Adit baru berseragam
putih merah, sedangkan di Crazy Love
adegan kipas-kipasnya cukup banyak. Jahat banget rasanya kalo bikin si Adit ‘dewasa’
sebelum usia.
“Beb,
adekmu kita ungsikan dulu gapapa? Titip di rumah nenek, boleh? Atau kalo gak
ada tempat nitip, kita nonton film lain aee yang bisa ditonton semua usia.”
Akhirnya setelah berdiskusi cukup
lama, dapat juga tempat nitip si Adit. Tempat di mana Adit bisa main sepakbola
sama bocah-bocah seusianya, dibanding harus menyaksikan adegan kissing orang dewasa berulang kali. Sounds ribet ya? Tapi percaya deh,
dampak tontonan bisa sedahsyat itu. kalo udah pernah lihat, jadi penasaran. Kalo
udah penasaran, jadi pengen nyoba. Pas nyoba, jadi ketagihan. Ooo ya jangan
sampai!
Sesampai di studio bioskop &
siap nonton, aku sempat curi pandang ke sekeliling, miris banget saat lihat ada
beberapa orang bocah yang ikutan nonton Crazy
Love bareng orang dewasa. Hmmm. Apa orangtuanya/orang dewasa yang ngajakin
nonton gatau euy kalo filmnya punya batasan usia penonton? *lalu sedih. Bisa
banget kan sebelum nonton diperhatiin bener-bener poster filmnya ato sempetin
baca review di internet, nyari tau
apakah filmnya bisa ditonton sama dedek-dedek gemes itu ato belum saatnya. Karena
ya percuma aja kalo udah dihadapin sama layar gede bioskop & kita mau sok
sibuk nutup mata mereka pas ada adegan kipas-kipas, gak bakal ngaruh lagi. Mereka
bakal penasaran & nyari tau sendiri, “Apa
sih yang tadi gak boleh dilihat?”
Rasa penasaran anak-anak yang
beranjak remaja itu jangan ditanya sekenceng apa. I’ve been there. Semakin dilarang, semakin penasaran. Semakin dibilang
jangan, semakin kuat hasrat untuk ngelakuin. Ya namanya juga bocah beranjak
gede. Gak bisa disalahin juga. Namun yang patut disalahkan itu kalo kita
sebagai orang dewasa, tidak melakukan BUDAYA SENDOR MANDIRI.
Apa
itu Budaya Sensor Mandiri?
Jujur, sebelumnya aku hanya tau
tipis-tipis informasi seputar Budaya Sensor Mandiri ini, tapi kemudian saat
ikutan kegiatan Talkshow Blogger Bengkulu bersama Lembaga Sensor Film yang
diselenggarakan pada tanggal 26 September 2018 di Konakito, aku dapet poin
pentingnya. Gak sia-sia euy, baru bener pulang dari Palembang - dari bandara
langsung cuss ke Konakito. Worth it,
karena aku dapet ilmu yang super bermanfaat dari duo narsum kece (Ibu Noor
Saadah dari LSF & Umi Milda Ini dari Blogger Bengkulu) pada talkshow
kemarin itu.
Pict
milik penulis dari kegiatan Talkshow Blogger Bengkulu bersama Lembaga Sensor
Film
|
Budaya sensor mandiri berarti kita sebagai orang dewasa, aktif memilih tayangan TV atau film mana yang boleh ditonton oleh anak-anak, mana yang tidak. Melakukan seleksi, mana yang boleh ditonton seorang diri, mana yang harus didampingi oleh orang dewasa.
Karena sungguhlah, kita tidak
mungkin menyalahkan tayangan TV atau film, serta menyalahkan pemerintah melalui
Lembaga Sensor Film jikalau kemudian muncul dampak negatif dari tayangan TV
maupun film yang tayang di bioskop. Entah itu karena tayangan yang tidak
mendidik, mengandung unsur kekerasan, banyak adegan yang belum layak dilihat
anak kecil, dll. Terlepas dari tugas yang sudah dijalankan oleh Lembaga Sensor
Film yang sudah berupaya keras agar tontonan yang ada bisa aman dilihat, tentu
sebagai masyarakat, kita juga harus membantu tugas itu agar dampaknya makin
oke. Ya dengan melakukan budaya sensor mandiri, gaes.
Pict
milik penulis dari kegiatan Talkshow Blogger Bengkulu bersama Lembaga Sensor
Film
|
Beberapa acara di TV maupun film sebenarnya sudah diberi tanda BO (Bimbingan Orangtua), D (Dewasa) & SU (Semua Umur). Kadang, ada juga tanda berupa umur, misalnya 13+, 17+ & 21+. Ini yang menjadi PR bagi orang tua & orang dewasa agar lebih teliti & tidak cuek pada tanda-tanda yang sudah diberikan. Ini adalah cara yang paling gampang untuk mengetahui apakah sebuah tontonan bisa dinikmati semua umur atau tidak, jika dirasa mencari-cari review sebuah acara atau film di internet terlalu memakan waktu. Jangan abai melihat tanda, karena sebuah tontonan bisa berefek dahsyat & panjang.
Untuk tayangan TV sendiri,
biasanya acara-acara untuk orang dewasa hadir di jam-jam malam atau lewat
tengah malam. Ini juga sebenarnya bisa menjadi reminder agar tidak membiarkan anak-anak menonton hingga larut. Makin
larut, biasanya acara yang disuguhkan makin hot.
Tidak cocok untuk anak-anak. Namun sekali dua kali, bukan hal mustahil untuk
kecolongan. Acara yang tidak cocok ditonton anak-anak tiba muncul di siang atau
sore hari, tugas orang dewasa lah yang kemudian dituntut hadir pada kondisi
seperti ini. Memilihkan acara yang pas untuk anak, mendampingi saat menonton,
menjelaskan hal-hal yang sekiranya punya multi-tafsir & membingungkan bagi
anak. Sedangkan saat weekend,
biasanya acaranya memang ramah anak, banyak film kartun bagus yang bisa
anak-anak nikmati. Tapi tetap waspada, karena tidak semua film kartun punya
muatan bagus bagi anak-anak.
Pict
milik penulis dari kegiatan Talkshow Blogger Bengkulu bersama Lembaga Sensor
Film
|
Beberapa stasiun TV juga biasanya
punya ciri khas masing-masing. TV A identik dengan siaran beritanya, TV B
jagoan dengan reality shownya, TV C dengan sinetron ABGnya, ini juga bisa
menjadi patokan, stasiun TV mana yang pas dibuka pada jam-jam tertentu. Jangan sampai
kecele.
Mau tidak mau, budaya sensor
mandiri harus dibiasakan hingga menjadi habit sejak dini. Masa-masa di mana era
digital yang membuat banyak orang (barangkali termasuk kita) tidak bisa
menghindari TV atau film-film bagus di bioskop. Efek, visual, warna, gambar
& semua yang disajikan di TV, sukses menjadikan TV sebagai media hiburan
yang sulit digantikan.
Sesuai dengan visi Lembaga Sensor
Film RI, “Terwujudnya masyarakat sensor
mandiri dan berkembangnya perfilman nasional yang berdaya saing sesuai tata
nilai budaya bangsa untuk memperkokoh ketahanan nasional.”, sudah
sewajarnya kita sebagai bagian dari masyarakat Indonesia ikut membantu
menyukseskan budaya sensor mandiri. Tontonan bagus & tepat penontonnya akan
memberikan hiburan menyenangkan, yang kemudian bisa ditransformasi menjadi energi.
Selamat membudayakan sensor
mandiri. :)
Lembaga
Sensor Film Republik Indonesia
Alamat
: Gedung Film, Jalan MT. Haryono Kav 47-48, Jakarta Selatan
Phone/fax
:
(021)
7902971 – Phone
(021)
7902971 – Ext 222 Fax
Tulisan
ini diikutsertakan pada kegiatan #NulisSerempak yang diadakan oleh Blogger Bengkulu ft Lembaga Sensor Film
Iyah, harus dimulai dari diri sendiri. Baru bisa menjaga keluarga dan orang lain
ReplyDeletefirst koment nih, betul setuju sekali dengan jaman infomasi yang gencar ini membuat tontonan dalam genggaman hingga ke kamar tidur bisa nonton. kita harus kapanyekan penyadaran sensor mandiri. Salam sukses. https://goo.gl/u2Xxri
ReplyDeleteBudaya yang harus diterapkan supaya dapat tontonan yang sesuai
ReplyDeleteYoosss... Mulai dari diri sendiri, budayakan semsos mandiri
ReplyDeleteKalau sensor mandiri film dan tv sih masih bisa mbak. Tapi kalau internet? Hem.. kominfo harus kerja keras
ReplyDeleteUntung pas fira smp-sma ga ada yang ngajak nonton film romance, haha. Tapi pas udah kuliah terus ngajak Negeri oranye (film disamarkan wkwk) agak gelisah gitu pas ingat adek fira ikut nonton juga (karena fira yg pengen nonton jadi sekeluarga nonton).
ReplyDeletePulangnya kena marah mama ngajak nonton begituan wkwk.
Sensor mandiri dimulai dri diri sendiri, keluarga dan lingkungan yaaaa
ReplyDeleteKok aku fokusnya sama adegan kipas-kipas. Adegan apaan tuh? *Kipas sateee 🤣🤣🤣
ReplyDeletekita sekarang harus lebiih cerdas dan harus memahami literasi media
ReplyDeletebenar banget, kita skrng harus lebih cerdas dan harus paham literasi media
ReplyDeleteBetul sekali itu mbak. Diri kita sndri yg harus mensensor. Terutama memilih tontonan yg pas untuk kta dan adek2.
ReplyDeleteKegiatan yg bermanfaat skli ya mbak. Ilmu ny jd makin mantep nih.
ReplyDeleteSekarang aku kalo nonton lebih merhatiin kategori usia dulu sblmnya supaya tertanam budaya sensor mandirinyaa
ReplyDeleteYang repot itu kalo ternyata ibu-ibunya pada nonton sinetron juga, atau tayangan yang bukan konsumsi anak-anak. Udah deh pusing mesti edukasi ibunya atau anaknya hehehhee.
ReplyDeleteBagus banget kalau ada event seperti ini, soalnya aku sering lihat adek2 sekolah maksa masuk bioskop nonton film yang peruntukannya nggak sesuai umur mereka. petugas bioskopnya ditekan, pdhl petugas lain banyak yg ngelolosin, gitu alasannya. Berbuat benar emang susah. Bener banget musti ditanamkan mandiri dari keluarga masing2 biar ga terpapar dan kepo dengan yang belum sesuai usianya :)
ReplyDeleteSebagai orang tua emang kita yang harus bijak memilah film yang mana pantas ditonton oleh anak kita.
ReplyDeleteAda satu kejadian, waktu nonton film Mile22, mbak kasir tiketnya udah ingatin kalo gak boleh ada anak kecil karena emang filmnya penuh kekerasan. Jadinya anakku yang usia 3 tahun dibawa main sama kakaknya.
Tapi oh tapi, begitu di dalam bioskop, banyak juga yang bawa anak. Berarti dari pihak bioskop hanya sekedar mengingatkan tapi gak melarang.
naini fardu ain banget diterapin ke setiap anak-anak kita nih mba. Kalo bukan dari orangtua sendiri lah gimana anak-anaknya bisa teredukasi dengan baik dari film2 yang bukan buat seusianya ya. fyi ku baru ajak nonton darell ke bioskop pas usianya 2,5 tahun hehehhe itu pun setengah film dia minta pulang. gak betahan anaknya
ReplyDeleteBetul banget, sensor mandiri kudu dibudayakan mulai dari diri sendiri & keluarga. Aku jg pernah ikutan talkshow yg bahas ini sama LSF
ReplyDeleteYap,, targetnya adalah perfilman Indonesia yang mendunia dengan tetap menjaga nila-nilai luhur bangsa.
ReplyDelete