Ketika ambulance dari Dinkes
masuk ke pekarangan kantor dan para tenaga kesehatan mulai turun, airmataku
rembes juga. Gak tahan. Ini pertama kalinya aku secara live melihat nakes dengan APD
lengkap berikut hazmat. Hati nyilu, sedih, deg-degan. Telapak tangan mulai
dingin, berkeringat, gemetar ..
Semalam aku bolak balik nanya ke
suami, apakah harus rapid test atau nggak. Sejujurnya grogi berat. Kalau ternyata
reaktif, hidup bakal punya tantangan baru toh. Harus isolasi mandiri, harus ikut
pemeriksaan lanjut, belum lagi harus menghadapi stigma ini itu. Rasanya nggak
siap. Suami membebaskan, aku boleh ikut test kalau siap, tapi kalau belum-belum
rasanya udah mau pingsan, aku bisa nenangin diri dulu.
Besoknya aku memutuskan untuk
ikut rapid test. Meluk suami dulu sambil nangis. Dan sekarang lihat nakes pakai
hazmat, aku nangis lagi. Duh cengeng!
“Dek
.. hei gakpapa!”
Aku tersentak. Lalu nyengir. Dahlah
dahlah. Stop mikir macam-macam & kejauhan. Aku narik nafas pelan-pelan. Senyum
(meski terpaksa) dan mulai mensugesti diri dengan kalimat-kalimat positif. Sebisanya.
Sekuatnya.
Hasil pemeriksaan rapid test
bukan penentu hasil akhir.
Kalau ternyata hasilnya reaktif
lalu diswab lalu positif, itu juga memudahkan petugas dalam proses tracing
& upaya penyembuhan. Lebih baik buatku & bisa bikin aman keluarga &
teman-teman yang sehari-hari berinteraksi denganku.
Screening dengan rapid test
penting, karena bisa menjadi antisipasi dini
munculnya klaster baru. Sasarannya bukan hanya yang pernah kontak dengan pasien
terkonfirmasi positif, melainkan juga berhubungan dengan titik-titik yang
memungkinkan berkembangnya virus. Aku siaran di studio, sudah cukup lama balik
WFO. Interaksi sosial di kantor cukup tinggi. Ketemu narasumber A, B, C, D yang
entah dari mana, entah berinteraksi dengan siapa. Jadi Bismillah ..
--
Setelah antri
sebentar, aku masuk ke ruangan kantor yang disulap jadi ruang pemeriksaan.
Ada 3 nakes yang menggunakan APD lengkap. Aku pun lalu duduk di depan salah
satu nakes. Deg degan. Di dalam hati udah komat kamit teriak Allah Allah Allah.
Ngisi form sebentar yang isinya nama, no HP & usia. Aku gatau benernya
nyodorin tangan kanan atau kiri, jadi aku sodorin aja dua-duanya. Ternyata sampel
darahnya diambil dari jari manis tangan kiri. Pas jarum nancep di ujung jari,
aku teriak kenceng ALLAH (tapi cuma dalam hati aja huhuu. Malu soalnya akutuh).
Sakit coy! Entah karena tegang atau emang jarum suntiknya lebih gede, tapi
menurutku rasanya lebih sakit dibanding pas ambil darah untuk cek lab
pemeriksaan DBD beberapa tahun lalu.
Baca juga : Pedihnya Kehilangan Nikmat Sehat
Sampel darah
dari ujung jari kemudian diteteskan ke alat rapid test. Ada cairan penanda
antibodi juga diteteskan di tempat yang sama. Nah, menit-menit super
menegangkan pun hadir lagi. Apakah hasilnya akan garis 1 (non reaktif) atau
garis 2 (reaktif). Sebenarnya nunggu hasilnya tuh gak lama, cuma 10-15 menit
aja, tapi karena cemas udah luber-luber, bawaannya gelisah aja sih.
Tik..
Tok..
Tik..
Tok..
Dan
Alhamdulillah .. garis 1. Non reaktif. :))
*Nangis lagi. Tapi
tangis lega & bahagia. Huhuhu
--
Bergulirnya
waktu membuat kita beradaptasi.
Awal-awal
pandemi kemarin emang stress berat, karena bingung harus apa, harus gimana. Tapi
seiring berjalannya waktu, aku memilih untuk melakukan hal-hal yang bisa aku
kontrol aja. Jaga diri, jaga orang lain, jaga kebersihan, termasuk melakukan rapid test terdekat ketika masuk
kategori orang yang harus melakukan pemeriksaan.
Meski sudah
lumayan lega, tapi aku nggak melonggarkan langkah pencegahan penularan virus
corona. Tetap jaga kebersihan, rajin cuci tangan menggunakan sabun & air
mengalir, pakai masker ketika beraktivitas di luar rumah, melakukan physical
distancing, dan tidak keluar rumah jika bukan untuk bekerja atau beli bahan
makanan pokok. Jalan-jalan apalagi nongkrong-nongkrong bisa menyusul nanti
kalau keadaan sudah membaik. Tatanan kehidupan baru atau new normal itu
menurutku bukan untuk bebas berkeliaran tanpa tujuan seperti dulu-dulu, melainkan
tetap bisa produktif bekerja & berkarya, dengan tetap mematuhi protokol
kesehatan.
Termasuk juga
ketika punya keluhan kesehatan & harus berkonsultasi sama dokter. Selama itu
belum darurat, aku memilih nggak ke pusat kesehatan atau RS. Berkonsultasi
kesehatan dengan dokter bisa menggunakan apps Halodoc. Aplikasi ini memberikan solusi
lengkap & terpercaya untuk kebutuhan kesehatan masyarakat Indonesia. Bukan
hanya interaksi dengan kerabat saja yang bisa dilakukan secara online, tapi
interaksi antara dokter dengan pasien pun bisa dilakukan dalam layanan online
aplikasi Halodoc. Tinggal unduh di Playstore atau Appstore, registrasi,
lengkapi data diri, beres. Sesimple itu untuk konsultasi kesehatan di tengah
pandemi seperti ini. Praktis. Sekaligus mengurangi resiko bertemu banyak orang,
mengurangi resiko terdampak virus corona.
Stay safe
teman-teman. Kita lewati pandemi ini bareng-bareng ya. :))
Belun ngalami dan sekuat tenaga untuk tidak akan mengalaminya....Ya Alloh semoga masa covid ini segera berlalu....Aamiin
ReplyDeleteBelum pernah rapid atau PCR, ngeri-ngeri sedap keluar walau sekarang aktivitas sudah berjalan spt biasa...
ReplyDeleteVaksin sudah belum tan, wkwk
ReplyDeleteDuhh nular nih dag dig dug nya nyampe sini mbak. Alhamdulillah negatif. Hehe
ReplyDeleteGak kebayang kalo aku ikut di tes darah. Khawatir juga euy. Hehee.. Moga aja corona ni cepat ilang. Aamiinn..
ReplyDeleteBacanya aja udah deg2an ntan
ReplyDeleteMemang separno itu ya pas tes, khawatir kalo bakal positif.sehat2 ya bu penyiar
baca postingan ini, jadi ingat ada teman yang gak mau tes antigen karena gak mau dikata sakit covid, padahal dari gejala dan keluhan sudah mnegarah ke sana, laju bohong gak menentu gak maasuk kerja, hehehe
ReplyDelete